Blog ini kini telah berpindah ke
Az-paper.com!Di Blog az-paper kamu bisa cari RPP, Referensi skripsi, Essay dan juga materi pembelajaran. seilahkan di cek. :)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hadits yang dipahami sebagai pernyataan, perbuatan,
persetujuan dan hal yang berhubungan dengan Nabi Muhammad saw. Dalam tradisi
Islam, hadits diyakini sebagai sumber ajaran agama kedua setelah al-Quran.
Disamping itu hadits juga memiliki fungsi sebagai penjelas terhadap ayat-ayat
al-Qur’an sebagaimana dijelaskan dalam QS: an-Nahl ayat 44. Hadits tersebut
merupakan teks kedua, sabda-sabda nabi dalam perannya sebagai pembimbing bagi
masyarakat yang beriman. Akan tetapi, pengambilan hadits sebagai dasar bukanlah
hal yang mudah. Mengingat banyaknya persoalan yang terdapat dalam hadits itu
sendiri. Sehingga dalam berhujjah dengan hadits tidaklah serta merta asal
mengambil suatu hadits sebagai sumber ajaran
Adanya
rentang waktu yang panjang antara Nabi dengan masa pembukuan hadits adalah
salah satu problem. Perjalanan yang panjang dapat memberikan peluang adanya
penambahan atau pengurangan terhadap materi hadits. Selain itu, rantai perawi
yang banyak juga turut memberikan kontribusi permasalahan dalam meneliti hadits
sebelum akhirnya digunakan sebagai sumber ajaran agama. Mengingat banyaknya
permasalahan, maka kajian-kajian hadits semakin meningkat, sehingga upaya
terhadap penjagaan hadits itu sendiri secara historis telah dimulai sejak masa
sahabat yang dilakukan secara selektif.
Para muhaddisin, dalam
menentukan dapat diterimanya suatu hadits tidak mencukupkan diri hanya pada
terpenuhinya syarat-syarat diterimanya rawi yang bersangkutan. Hal ini
disebabkan karena mata rantai rawi yang teruntai dalam sanad-sanadnya sangatlah
panjang. Oleh karena itu, haruslah terpenuhinya syarat-syarat lain yang
memastikan kebenaran perpindahan hadits di sela-sela mata rantai sanad
tersebut. Makalah ini mencoba mengelompokkan dan menguraikan secara ringkas
pembagian-pembagian hadits ditinjau dari berbagai aspek.
1.2 Tujuan Penulisan
Penulisan
makalah ini bertujuan :
Untuk mengetahui lebih rinci lagi
tentang pembagian hadits.
Untuk lebih memahami pengertian hadits
dan macam-macamnya dan syarat-syaratnya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hadits
a.Pengertian Hadits Secara Etimologis :
Hadis atau al- hadits menurut bahasa adalah al- jadid yang
artinya (sesuatu yang baru) yang berarti menunjukkan kepada waktu yang dekat atau
waktu yang singkat seperti (orang yang baru masuk/ memeluk islam). Hadis juga
sering disebut dengan al- khabar, yang berarti berita, yaitu sesuatu yang
dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain, sama maknanya
dengan hadis.
b.Pengertian Hadits Secara Terminologi
Sedangkan pengertian
hadis menurut istilah (terminologi), Para Ahli memberikan definisi (ta’rif)
yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang disiplin ilmunya.Pengertian hadis
menurut Ahli Hadis, ialah:“Segala perkataan Nabi, perbuatan, dan hal ihwalnya.”
Yang dimaksud dengan hal ihwal ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW.
Yang berkaitan dengan hikmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan
kebiasaan-kebiasaan.
Ada juga yang memberikan pengertian lain : “Sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau”.
sementara para ulama ushul memberikan pengertian hadis adalah: “Segala
perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan taqrirnya yang berkaitan dengan hukum syara’
dan ketetapannya”.
Berdasarkan pengertian hadis menurut ahli ushul ini jelas
bahwa hadis adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Saw. Baik ucapan,
perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau
ketentuan-ketentuan Allah yang disyari’atkan kepada manusia. Selain itu tidak bisa
dikatakan hadis. Ini berarti bahwa ahli ushul membedakan diri Muhammad sebagai
rasul dan sebagai manusia biasa. Yang dikatakan hadits adalah sesuatu yang
berkaitan dengan misi dan ajaran Allah yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW.
Sebagai Rasulullah SAW. Inipun, menurut mereka harus berupa ucapan dan
perbuatan beliau serta ketetapan-ketetapannya. Sedangkan
kebiasaan-kebiasaannya, tata cara berpakaian, cara tidur dan sejenisnya
merupakan kebiasaan manusia dan sifat kemanusiaan tidak dapat dikategorikan sebagai
hadits.
2.2 klasifikasi hadits dari segi kualitas dan kuantitas
A.Pembagian hadits berdasarkan kuantitas
Hadits berdasarkan kuantitas (banyaknya jumlah perawi) atau
orang yang meriwayatkan suatu hadits dapat dibagi menjadi dua, yaitu hadits
mutawatir dan hadits ahad.
1. Hadits mutawatir
a.Ta’rif Hadits
Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau
berturut-turut
antara
satu
dengan
yang
lain.
Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang
menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang
dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada
setiap tingkatan.”
Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita yang
diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan
tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala
berita yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka be
rkumpul
untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.
Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah
diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadits itu langsung dari
Nabi Muhammad SAW, maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan
hadits itu harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut.
Dalam sejarah para perawi diketahui bagaimana cara perawi menerima dan
menyampaikan hadits. Ada yang melihat atau mendengar, ada pula yang dengan
tidak melalui perantaraan pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan dan
sebagainya. Disamping itu, dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang
yang periwayatkan hadits itu.
Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat
diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk
berdusta, maka penyampaian ituadalah secara mutawatir.
b. Syarat-Syarat Hadits
Mutawatir
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan
sebagai berikut :
1. Hadits (khabar) yang diberitakan
oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera.
Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran
semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam
arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat)
sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun
rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.
2. Bilangan para perawi mencapai suatu
jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para
ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan
bersepakat dusta.
a. Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan
dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
b. Ashabus Syafi’i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan
jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
c. Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut
berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin
yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang
(lihat surat Al-Anfal ayat 65).
d. Ulama yang lain
menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan
dengan firman Allah:“Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu
(menjadi penolongmu).” (QS. Al-Anfal: 64).
3. Seimbang jumlah
para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat
berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak
banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits
mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya.
Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi
jumlahnya hanya sedikit.
Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar.
Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits,
kelakuan dan sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu
banyak jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan
ada beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti
Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam
As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan
Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H).
c.Faedah Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir memberikan faedah
ilmu daruri, yakni keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan
mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath’i (pasti), dengan
seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan atau
mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa penelitian terhadap rawi-rawi hadits
mutawatir tentang keadilan dan kedlabitannya tidak diperlukan lagi, karena
kuantitas/jumlah rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk
tidak bersepakat dusta. Oleh karenanya wajiblah bagi setiap muslim menerima dan
mengamalkan semua hadits mutawatir. Umat Islam telah sepakat tentang faedah
hadits mutawatir seperti tersebut di atas dan bahkan orang yang mengingkari
hasil ilmu daruri dari hadits mutawatir sama halnya dengan mengingkari hasil
ilmu daruri yang berdasarkan musyahailat (penglibatan pancaindera).
d. Macam–macam hadits mutawatir
Mutawatir lafzhi, yaitu yang sesuai lafal para perawinnya,
baik dengan menggunakan satu lafal atau lafal lain yang satu makna dan
menunjukkan kepada makna yang dimaksud secara tegas.
Mutawatir ma’nawi, yaitu sesuatu yang mutawatir maksud makna
hadits secara konklusif, bukan makna dari lafalnya, makna lafal boleh berbeda
antara beberapa periwaytaan perawi, tetapi maksud kesimpulannya sama.
Mutawatir ‘amali, yaitu perbuatan dan pengalaman syari’ah
silamiyah yang dilakukan nabi secara praktis dan terbuka kemudian disaksikan
dan diikuti oleh para sahabat.
2. Hadits ahad
Menurut Istilah ahli
hadits, tarif hadits ahad antara lain adalah :
“Suatu hadits (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah
pemberita hadits mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang,
empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi
pengertian bahwa hadits tersebut masuk ke dalam hadits mutawatir.
’Ajjaj al-Khathib, yang membagi
hadis berdasarkan jumlah perawinya kepada tiga, bahwa ia mengatakan defenisi
Hadis Ahad sebagai berikut:
“Hadis Ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang perawi, dua atau
lebih, selama tidak memenuhi syarat-syarat Hadis Masyhur atau Hadis Mutawatir”.
Dari definisi ‘Ajjaj al-Khathib di atas dapat dipahami bahwa Hadis Ahad adalah
hadis yang jumlah perawinya tidak mencapai jumlah yang terdapat pada Hadis
Mutawatir . Di dalam pembahasan berikut, yang menjadi pedoman penulis adalah
defenisi yang dikemukakan oleh Jumhur Ulama Hadis, yang mengelompokkan Hadis
Masyhur ke dalam kelompok Hadis Ahad.
b.Macam–macam hadits ahad
1. Hadis Masyhur.
Secara bahasa, kata masyhur adalah isim maf’ul dari Syahara, yang berarti
“al-zhuhur”, yaitu nyata. Sedangkan pengertian Hadis Masyhur menurur istilah
Ilmu Hadis adalah:
“Hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih, pada setiap
tingkatan sanad, selama tidak sampai kepada tingkat Mutawatir”.
Dengan demikian, Hadis
Masyhur dapat dibedakan menjadi enam macam, yaitu:
(1). Hadis Masyhur di kalangan ahli hadis, yaitu hadis yang
diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih.
Contohnya hadis yang
berasal dari Anas r.a., dia berkata:Bahwasanya Rasulullah SAW berkunut selama
satu buan setelah ruku’ mendo’akan hukuman atas (tindakan kejahatan) penduduk
Ri’lin dan Dzakwan. (HR Bukhari dan Muslim).
(2).Hadis Masyhur di kalangan Fugaha, seperti hadis:
“Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak. (HR Abu Daud dan Ibn
Majjah”.
(3). Hadis Masyhur di kalangan Ulama Fiqih, contohnya:
“ Diangkatkan (dosa/hukuman) dari umatku karena tersalah(tidak disengaja),
lupa, dan perbuatan yang dilakukan kerena terpaksa.(HR Ibn Majjah).
(4).Hadis Masyhur di kalangan Ulama Hadis, Fugaha, Ulama Ushul Figh dan
kalangan awam, seperti:
“ Muslim yang sebenarnya itu adalah orang yang selamat menyelamatkan
muslim-muslim lainnya dari akibat lidah dan tangannya, dan orang yang berjihad
itu adalh orang yang pindah(meninggalkan segala perbuatan yang diharamkan
Allah”. (HR Bukhari dan Muslim).
(5). Hadis Masyhur di kalangan ahli Nahwu, seperti:
“Sebaik-baik hamba adalah Shuhaib”
(6). Hadis Masyhur di kalangan awam, seperti:
“Tergesa-gesa itu adalah dari (perbuatan) setan. (HR Tirmidzi).
2. Hadis ‘Aziz
‘Aziz menurut bahasa adalah shifah musyabbahat dari kata ‘azza – ya ’izzu yang
berarti qalla dan nadara, yaitu “sedikit” dan “jarang”; atau berasal dari kata
’azza – ya ’azzu yang berarti qawiya dan isytadda, yaitu “kuat” dan “sangat”.
Menurut istilah Ilmu Hadis, ’Aziz berarti:
“Bahwa tidak kurang perawinya dari dua orang pada seluruh tingkatan sanad”.
Definisi di atas menjelaskan bahwa Hadis ’Aziz adalah Hadis yang perawinya
tidak boleh kurang dari dua orang pada setiap tingkatan sanad-nya, namun boleh
lebih dari dua orang, seperti tiga, empat atau lebih, dengan syarat bahwa salah
satu tingkatan sanad harus ada yang perawinya terdiri atas dua orang. Hal ini
adalah untuk membedakan dari Hadis Msyhur.
3. Hadis Gharib
Menurut bahasa, kata gharib adalah shifah musyabbahat yang berarti al- munfarid
atau al- ba’id ‘an aqaribihi,6 yaitu “yang menyendiri” atau jauh dari
kerabatnya”.
Gharib menurut istilah Ilmu Hadis:
“Yaitu: Hadis yang menyendiri seorang perawi dalam periwayatannya”
Dari definisi di atas dapat disimpulkan, bahwa setiap hadis yang diriwayatkan
oleh seorang perawi, baik pada setiap tingkatan sanad atau pada sebagian
tingkatan sanad dan bahkan mungin hanya pada satu tingkatan sanad, maka hadis
tersebut dinamakan Hadis Gharib.
Menurut Ulama Hadis, Hadis Gharib
terbagi dua, yaitu: Gharib Muthlaq dan Gharib Nisbi.
a. Gharib Muthlaq, yaitu:
“Hadis yang
menyendiri seorang perawi dalam periwayatannya pada ashal sanad.”
Contoh Hadis Gharib Muthlaq, mengenai niat:
“Sesungguhnya seluruh
amal itu bergantung pada niat”.
Hadis niat tersebut hanya diriwayatkan oleh ’Umar ibn al- Khattab sendiri di
tingkat sahabat.
b. Gharib Nisbi, adalah:
“Hadis yang terjadi
Gharib di pertengahan sanad-nya”.
Hadis Gharib Nisbi ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh lebih dari seorang
perawi pada asal sanad (perawi pada tingkat sahabat), namun dipertengahan
sanadnya terdapat tingkat yang perawinya hanya sendiri (satu orang ).
Contoh Hadis Gharib Nisbi, yaitu:
“Hadis yang diriwayatkan oleh Malik dar
i al- Zuhri dari anas r.a., bahwasanya Nabi SAW memasuki kota Mekkah dan di
atas kepalanya terdapat al-mighfar (alat penutup kepala). (HR Bukhari dan
Muslim).
c. Faedah hadits ahad
Para ulama sependapat bahwa hadits
ahad tidak Qat’i, sebagaimana hadits mutawatir. Hadits ahad hanya memfaedahkan
zan, oleh karena itu masih perlu
diadakan penyelidikan sehingga dapat diketahui maqbul dan
mardudnya. Dan kalau temyata telah diketahui bahwa, hadits tersebut tidak
tertolak, dalam arti maqbul, maka mereka sepakat bahwa hadits tersebut wajib
untuk diamalkan sebagaimana hadits mutawatir. Bahwa neraca yang harus kita
pergunakan dalam berhujjah dengan suatu hadits, ialah memeriksa “Apakah hadits
tersebut maqbul atau mardud”. Kalau maqbul, boleh kita berhujjah dengannya.
Kalau mardud, kita tidak dapat iktiqatkan dan tidak dapat pula kita
mengamalkannya. Kemudian apabila telah nyata bahwa hadits itu (sahih, atau
hasan), hendaklah kita periksa apakah ada muaridnya yang berlawanan dengan
maknanya. Jika terlepas dari perlawanan maka hadits itu kita sebut muhkam. Jika
ada, kita kumpulkan antara keduanya, atau kita takwilkan salah satunya supaya
tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tak mungkin dikumpulkan, tapi diketahui
mana yang terkemudian, maka yang terdahulu kita tinggalkan, kita pandang
mansukh, yang terkemudian kita ambil, kita pandang nasikh. Jika kita tidak
mengetahui sejarahnya, kita usahakan menarjihkan salah satunya. Kita ambil yang
rajih, kita tinggalkan yang marjuh. Jika tak dapat ditarjihkan salah satunya,
bertawaqquflah kita dahulu.
Walhasil, barulah dapat kita dapat berhujjah dengan suatu hadits, sesudah nyata
sahih atau hasannya, baik ia muhkam, atau mukhtakif adalah jika dia tidak
marjuh dan tidak mansukh.
B. Pembagian Haditst
Berdasakan Kualitas
Berdasarkan kualitas hadits dibagi menjadi
tiga yaitu:
1. Hadits Sahih
a. Syarat hadits Sahih adalah:
a. Diriwayatkan oleh perawi yang
adil Maksudnya adalah tiap-tiap perawi itu seorang Muslim, bersetatus Mukallaf
(baligh), bukan fasiq dan tidak pula jelek prilakunya.
b. Kedhabitan
perawinya sempurna maksudnya Periwayat itu harus memahami dengan baik makna dan
pengertian riwayat yang telah didengarnya (diterimanya),Periwayat itu memiliki
hafalan dengan baik terhadap riwayat yang telah didengarnya itu dengan tanpa
terdapat kesalahan atau kekeliruan pengutipan redaksi kata-katanya, Periwayat itu
mampu menyampaikan riwayat yang telah didengarnya dan dihafalnya dengan baik
kapan saja dia menghendakinya.
c. Sanadnya bersambung Maksudnya
adalah tiap-tiap perawi dari perawi lainnya benar-benar mengambil secara
langsung dari orang yang ditanyanya, dari sejak awal hingga akhir sanadnya.
d. Tidak ada
cacat atau illat Maksudnya ialah hadis itu tidak ada cacatnya, dalam arti
adanya sebab yang menutup tersembunyi yang dapat menciderai pada ke-shahih-an
hadis, sementara dhahirnya selamat dari cacat.
‘Illat hadis dapat terjadi pada sanad mapun pada matan atau
pada keduanya secara bersama-sama. Namun demikian, ‘illat yang paling banyak
terjadi adalah pada sanad, seperti menyebutkan muttasil terhadap hadis yang
munqati’ atau mursal.
e. Matannya tidak
syaz atau janggal Maksudnya ialah hadis itu benar-benar tidak syadz, dalam arti
bertentangan atau menyalesihi orang yang terpercaya dan lainnya.
b. Pengertian hadits shahih
Hadits sahih
menurut bahasa berarti hadits yng bersih dari cacat, hadits yng benar berasal
dari Rasulullah SAW. Batasan hadits sahih, yang diberikan oleh ulama, antara
lain :“Hadits sahih adalah hadits yng susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya
tidak menyalahi ayat (al-Quran), hadis mutawatir, atau ijimak serta para rawinya
adil dan dabit.”
c. Pembagian hadits shahih
a.Hadis Shahih li dzati
Maksudnya ialah syarat-syarat lima tersebut benar-benar
telah terbukti adanya,bukan dia itu terputus tetapi shahih dalam hakikat
masalahnya, karena bolehnya salah dan khilaf bagi orang kepercayaan.
b. Hadis Shahih Li Ghoirihi
Maksudnya ialah hadis tersebut tidak terbukti adanya lima
syarat hadis shahih tersebut baik keseluruhan atau sebagian. Bukan berarti sama
sekali dusta, mengingat bolehnya berlaku bagi orang yang banyak salah.
Hadis shahih li-ghoirih, adalah hadis hasan li-dzatihi
apabila diriwayatkan melamui jalan yang lain oleh perowi yang sama kualitasnya
atau yang lebih kuat dari padanya.
2.Hadits Hasan
a. Syarat hadits hasan adalah:
a. Para perawinya adil.
b. Kedhabitan perawinya dibawah perawi hadits sahih.
c. Sanadnya bersambung.
d. Tidak mengandung kejanggalan pada matannya.
e. Tidak ada cacat atau illat.
b.Pengertian hadits hasan
Menurut bahasa, hasan berarti
bagus atau baik. Menurut Imam Turmuzi hadits hasan adalah : “yang kami sebut
hadits hasan dalam kitab kami adalah hadits yng sannadnya baik menurut kami,
yaitu setiap hadits yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat
rawi yang dicurigai berdusta, matan haditsnya, tidak janggal diriwayatkan
melalui sanad yang lain pula yang sederajat. Hadits yang demikian kami sebut
hadits hasan.”
c.Pembagian hadits hasan
a. Hasan Li-Dzatih
Hadis hasan li-dzatih adalah hadis yang telah memenuhi
persyaratan hadis hasan yang telah ditentukan. pengertian hadis hasan li-dzatih
sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.
b. Hasan Li-Ghairih
Hadis hasan yang tidak memenuhi persyaratan secara sempurna.
dengan kata lain, hadis tersebut pada dasarnya adalah hadis dha’if, akan tetapi
karena adanya sanad atau matan lain yang menguatkannya (syahid atau muttabi’),
maka kedudukan hadis dha’if tersebut naik derajatnya menjadi hadis hasan
li-ghairih.
3. Hadits Daif
a. Pengertian hadits daif
Hadits daif menurut bahasa berarti hadits
yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan yang lemah (keci atau rendah)
tentang benarnya hadits itu berasal dari Rasulullah SAW.
Para ulama memberi batasan bagi hadits daif :
Artinya :
“Hadits daif adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits sahih, dan
juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan.”
Jadi hadits daif itu bukan saja
tidak memenuhi syarat-syarat hadits sahih, melainkan juga tidak memenuhi
syarat-syarat hadits hasan. Pada hadits daif itu terdapat hal-hal yang
menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadits tersebut bukan
berasal dari Rasulullah SAW.
b. Pembagian hadits dhoif
Hadist dhaif dapat
dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu : hadits dhaif karena gugurnya rawi
dalam sanadnya, dan hadits dhaif karena adanya cacat pada rawi atau matan.
a. Hadits dhaif karena gugurnya rawi
Yang dimaksud dengan gugurnya
rawi adalah tidak adanya satu atau beberapa rawi, yang seharusnya ada dalam
suatu sanad, baik pada permulaan sanad, maupun pada pertengahan atau akhirnya.
Ada beberapa nama bagi hadits dhaif yang disebabkan karena gugurnya rawi,
antara lain yaitu :
1) Hadits Mursal
Hadits mursal menurut bahasa, berarti hadits yang terlepas.
Para ulama memberikan batasan bahwa hadits mursal adalah hadits yang gugur
rawinya di akhir sanad. Yang dimaksud dengan rawi di akhir sanad ialah rawi
pada tingkatan sahabat yang merupakan orang pertama yang meriwayatkan hadits
dari Rasulullah SAW. (penentuan awal dan akhir sanad adalah dengan melihat dari
rawi yang terdekat dengan imam yang membukukan hadits, seperti Bukhari, sampai
kepada rawi yang terdekat dengan Rasulullah). Jadi, hadits mursal adalah hadits
yang dalam sanadnya tidak menyebutkan sahabat Nabi, sebagai rawi yang
seharusnya menerima langsung dari Rasulullah.
Contoh hadits mursal : Rasulullah bersabda, “ Antara kita
dan kaum munafik munafik (ada batas), yaitu menghadiri jama’ah isya dan subuh;
mereka tidak sanggup menghadirinya”.
2) Hadits Munqathi’
Hadits munqathi’ menurut etimologi ialah hadits yang
terputus. Para ulama memberi batasan bahwa hadits munqathi’ adalah hadits yang
gugur satu atau dua orang rawi tanpa beriringan menjelang akhir sanadnya. Bila
rawi di akhir sanad adalah sahabat Nabi, maka rawi menjelang akhir sanad adalah
tabi’in. Jadi, pada hadits munqathi’ bukanlah rawi di tingkat sahabat yang
gugur, tetapi minimal gugur seorang tabi’in. Bila dua rawi yang gugur, maka
kedua rawi tersebut tidak beriringan, dan salah satu dari dua rawi yang gugur
itu adalah tabi’in.
contoh hadits munqathi’ :
Artinya :Rasulullah SAW. bila masuk ke dalam mesjid, membaca
“dengan nama Allah, dan sejahtera atas Rasulullah; Ya Allah, ampunilah dosaku
dan bukakanlah bagiku segala pintu rahmatMu”.
3) Hadits Mu’dhal
Menurut bahasa, hadits mu’dhal adalah hadits yang sulit
dipahami. Batasan yang diberikan para ulama bahwa hadits mu’dhal adalah hadits
yang gugur dua orang rawinya, atau lebih, secara beriringan dalam sanadnya.
Contohnya adalah hadits Imam Malik mengenai hak hamba, dalam
kitabnya “Al-Muwatha” yang berbunyi : Imam Malik berkata : Telah sampai
kepadaku, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
Artinya :Budak itu harus diberi makanan dan pakaian dengan
baik.
4) Hadits mu’allaq
Menurut bahasa, hadits
mu’allaq berarti hadits yang tergantung. Batasan para ulama tentang hadits ini
ialah hadits yang gugur satu rawi atau lebih di awal sanad atau bisa juga bila
semua rawinya digugurkan (tidakdisebutkan).
Contoh : Bukhari berkata :Kata Malik, dari Zuhri, dan Abu Salamah dari Abu
Huraira, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
Artinya : Janganlah kamu melebihkan sebagian nabi dengan sebagian
yang lain.
b. Hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi
Banyak macam cacat yang dapat menimpa rawi ataupun matan.
Seperti pendusta, fasiq, tidak dikenal, dan berbuat bid’ah yang masing-masing
dapat menghilangkan sifat adil pada rawi. Sering keliru, banyak waham, hafalan
yang buruk, atau lalai dalam mengusahakan hafalannya, dan menyalahi rawi-rawi
yang dipercaya. Ini dapat menghilangkan sifat dhabith pada perawi. Adapun cacat
pada matan, misalkan terdapat sisipan di tengah-tengah lafadz hadits atau
diputarbalikkan sehingga memberi pengertian yang berbeda dari maksud lafadz
yang sebenarnya.
Contoh-contoh hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi
:
1) Hadits Maudhu’
Menurut bahasa, hadits ini memiliki pengertian hadits palsu
atau dibuat-buat. Para ulama memberikan batasan bahwa hadis maudhu’ ialah
hadits yang bukan berasal dari Rasulullah SAW. Akan tetapi disandarkan kepada
dirinya. Golongan-golongan pembuat hadits palsu yakni musuh-musuh Islam dan
tersebar pada abad-abad permulaan sejarah umat Islam, yakni kaum yahudi dan
nashrani, orang-orang munafik, zindiq, atau sangat fanatic terhadap golongan
politiknya, mazhabnya, atau kebangsaannya .
Hadits maudhu’ merupakan seburuk-buruk hadits dhaif.
Peringatan Rasulullah SAW terhadap orang yang berdusta dengan hadits dhaif
serta menjadikan Rasul SAW sebagai sandarannya.
“Barangsiapa yang sengaja berdusta terhadap diriku, maka
hendaklah ia menduduki tempat duduknya dalam neraka”.
2) Hadits matruk atau hadits mathruh
Hadits ini, menurut
bahasa berarti hadits yang ditinggalkan / dibuang. Para ulama memberikan
batasan bahwa hadits matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang
yang pernah dituduh berdusta ( baik berkenaan dengan hadits ataupun mengenai
urusan lain ), atau pernah melakukan maksiat, lalai, atau banyak wahamnya.
Contoh hadits matruk : “Rasulullah Saw bersabda, sekiranya tidak ada wanita,
tentu Allah dita’ati dengan sungguh-sungguh”.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ya’qub bin Sufyan bin
‘Ashim dengan sanad yang terdiri dari serentetan rawi-rawi, seperti : Muhammad
bin ‘Imran, ‘Isa bin Ziyad, ‘Abdur Rahim bin Zaid dan ayahnya, Said bin
mutstayyab, dan Umar bin Khaththab. Diantara nama-nama dalam sanad tersebut,
ternyata Abdur Rahim dan ayahnya pernah tertuduh berdusta. Oleh karena itu,
hadits tersebut ditinggalkan / dibuang.
3) Hadits Munkar
Hadist munkar, secara bahasa berarti hadits yang diingkari
atau tidak dikenal. Batasan yang diberikan para ‘ulama bahwa hadits munkar
ialah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah dan menyalahi perawi yang
kuat, contoh :
Artinya: “Barangsiapa yang mendirikan shalat, membayarkan
zakat, mengerjakan haji, dan menghormati tamu, niscaya masuk surga. ( H.R
Riwayat Abu Hatim )”
Hadits di atas memiliki rawi-rawi yang lemah dan matannya
pun berlainan dengan matan-matan hadits yang lebih kuat.
4.) Hadits Mu’allal
Menurut bahasa, hadits mu’allal berarti hadits yang terkena
illat . Para ulama memberi batasan bahwa hadits ini adalah hadits yang
mengandung sebab-sebab tersembunyi , dan illat yang menjatuhkan itu bisa
terdapat pada sanad, matan, ataupun keduanya.
Contoh : Rasulullah
bersabda, “penjual dan pembeli boleh berkhiyar, selama mereka belum berpisah”.
5) Hadits mudraj
Hadist ini memiliki pengertian hadits yang dimasuki sisipan,
yang sebenarnya bukan bagian dari hadits itu.
Contoh :
Rasulullah bersabda : “Saya adalah za’im ( dan za’im itu
adah penanggung jawab ) bagi orang yang beriman kepadaku, dan berhijrah; dengan
tempat tinggal di taman surga”.
Kalimat akhir dari hadits tersebut adalah sisipan ( dengan
tempat tinggal di taman surga), karena tidak termasuk sabda Rasulullah SAW.
6) Hadits Maqlub
Menurut bahasa, berarti hadits yang diputarbalikkan. Para
ulama menerangkan bahwa terjadi pemutarbalikkan pada matannya atau pada nama
rawi dalam sanadnya atau penukaran suatu sanad untuk matan yang lain.
Contoh : Rasulullah SAW bersabda : Apabila aku menyuruh kamu
mengerjakan sesuatu, maka kerjakanlah dia; apabila aku melarang kamu dari
sesuatu, maka jauhilah ia sesuai kesanggupan kamu. (Riwayat Ath-Tabrani)
7) Hadits Syadz
Secara bahasa, hadits ini
berarti hadits yang ganjil. Batasan yang diberikan para ulama, hadits syadz
adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang dipercaya, tapi hadits itu
berlainan dengan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang juga
dipercaya. Haditsnya mengandung keganjilan dibandingkan dengan hadits-hadits
lain yang kuat. Keganjilan itu bisa pada sanad, pada matan, ataupun keduanya.
Contoh : “Rasulullah bersabda : “Hari arafah dan hari-hari tasyriq adalah
hari-hari makan dan minum.”
2.3 Pembagian Hadits
Berdasarkan Bentuk dan Penisbahan Matan
a. Dari segi bentuk atau wujud matannya,
hadits dapat dibagi lima macam;
1. Qauli :Hadits yang matannya berupa perkataan yang pernah diucapkan
2. Fi’li :Hadits yang matannya berupa perbuatan sebagai penjelasan praktis
terhadap peraturan syariat
3. Taqriri :Hadits yang matannya berupa tarir, sikap atau keadaan mendiamkan,
tidak mengadakan tanggapan atau menyetujui apa yang telah dilakukan
4. Qawni :Hadits yang matannya berupa keadaan hal ihlwal dan sifat tertentu
5. Hammi :Hadits yang matannya berupa rencana atau cita-cita yang belum
dikerjakan, sebetulnya berupa ucapan
b. Dari penyandaran terhadap matan,
hadits dapat dibagi pada;
1. Marfu’: Hadits yang matannya dinisbahkan pada Nabi Muhammad, baik berupa
perkataan, perbuatan, atau taqrir Nabi Muhammad
2. Mauquf : Hadits yang matannya dinisbahkan pada sahabat, baik berupa
perkataan, perbuatan, atau taqrir
3. Maqtu’:Hadits yang matannya dinisbahkan kepada tabiin, baik berupa
perkataan, perbuatan atau taqrir
4. Qudsi: Hadits yang matannya dinisbahkan pada nabi Muhammad dalam lafad pada
Allah dalam makna
5. Maudu’i:Hadits yang matannya dinisbahkan pada selain Allah, Nabi Muhammad,
sahabat dan tabiin. Ini bisa disebut fatwa
2.4. Pembagian Hadits
Berdasarkan Persambungan dan Keadaan Sanad
Pembagian hadits berdasarkan sanad,
yang ditinjau dari segi persambungan sanad, dan dari segi sifat-sifat yang ada
pada sanad dan secara periwayatannya, dapat dikemukan di bawah ini. Hadits
ditinjau dari segi persambungan sanad terbagi pada jenis-jenis.
a. Hadits Muttasil; Hadits yang sanadnya bersambung sampai kepada Nabi Muhammad
SAW
b. Hadits Munfasil: Bila sanadnya tidak bersambung terdapat inqitaha’ (gugur
rawi) dalam sanad, dan terbagi lagi kepada
1. Muallaq: Hadits yang gugur rawinya seorang atau lebih dari awal sanad
(mudawin)
2. Mursal: Hadits yang gugur rawi pertama atau ahir sanadnya
3. Munqathi’:Hadits yang gugur rawi di satu tabaqat atau gugur dua orang pada
dua ttabaqat dalam keadaan tidak berturut-turut
4. Mu’dhal: Hadits yang gugur rawi-rawinya dua orang atau lebih secara
berturut-turut dalam tabaqat sanad, baik sahabat bersama tabiin, tabiin bersama
tabin tabiin, namun dua orang sebelum sahabat dan tabiin
5. Mudallas: Hadits yang gugur guru seorang rawi karena untuk menutup noda.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sebagai akhir pembahasan tulisan ini, penulis sajikan
kesimpulan umum sebagai berikut;
hadits diyakini sebagai sumber ajaran agama kedua setelah
al-Quran. Disamping itu hadits juga memiliki fungsi sebagai penjelas terhadap
ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana dijelaskan dalam QS: an-Nahl ayat 44. Hadits
tersebut merupakan teks kedua, sabda-sabda nabi dalam perannya sebagai
pembimbing bagi masyarakat yang beriman.
berdasarkan kuantitas (banyaknya
jumlah perawi) atau orang yang meriwayatkan suatu hadits dapat dibagi menjadi
dua, yaitu
·
hadits mutawatir : suatu hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah
besar perawi yang menurut kebiasaan
mustahil mereka berdusta dan tidak terdapat kejanggalan didalamnya.
·
dan hadits ahad : suatu hadist yang
pemberitaannya tidak mencapai jumlah perawi hadist mutawatir
Berdasarkan kualitas hadits dibagi menjadi tiga yaitu:
·
Hadits sahih : hadist yang bersih dari cacat,
hadist yang benar berasal dari nabi.
·
Hadits hasan : bagus atau baik, yaitu hadist
yang sanadnya baik, tidak ada rawi yang dicurigai berdusta.
·
Hadits dhoif : hadist yang kebenarannya lemah,
dan tidak memenuhi hadist2 hasan dan shahih.
Berdasarkan bentuk dan
penisbahan matan :
Dari segi bentuk atau wujud matannya :
ü
Qauli : hadist yang matannya berupa perkataan
yang pernah diucapkan
ü
Fi”li : hadist yang matannya berupa perbuatan
ü
Taqriri : hadist yg berupa sikap
ü
Qawni
ü
Hammi
Dari segi penyandaran terhadap matan :
§
Marfu
§
Mauquf
§
Maqtu
§
Qudsi
§
Maudhu
Berdasarkan
persambungan sanad :
Ø
Muttasil
Ø
Munfasil
Ø
Muallaq
Ø
Mursal
Ø
Munqathi
Ø
Mu”dal
Ø
Mudallas
DAFTAR PUSTAKA
Endang Soetari AD, Ilmu
Hadits, Bandung: Amal Bakti Press 1997
Mahmud Tohan dalam Taisir Mustalah Hadits
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, terj: Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Ushulul Hadits:
Pokok-Pokok Ilmu Hadits, Jakarta: Gaya Media Pratama 1998
————-, Ushul al-Hadits: ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu, Beirut: Dar al-‘Ilmu li
al-Malayin 1977
————-, Al-Sunnah Qabl al-Tadwin, Beirut: Dar al-Fikr 1981
Nuruddin Itr ter: Mujiyo, Ulum Hadits, Bandung: Remaja Rosdakarya 1997
Hadits-Ilmu Hadits. Departemen Agama RI. Jakarta, Oktober 1992.
www. eramuslim.com
Min Muqawwimât an-Nafsiyyah al-Islâmiyyah : Syekh Taqiuddin An-Nabhani,HT I
Press
http://ronyramadhanputra.blogspot.com/2009/04/hadits-dhaif.html