Tampilkan postingan dengan label makalah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label makalah. Tampilkan semua postingan
Blog ini kini telah berpindah ke Az-paper.com!
Di Blog az-paper kamu bisa cari RPP, Referensi skripsi, Essay dan juga materi pembelajaran. seilahkan di cek. :)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hadits yang dipahami sebagai pernyataan, perbuatan, persetujuan dan hal yang berhubungan dengan Nabi Muhammad saw. Dalam tradisi Islam, hadits diyakini sebagai sumber ajaran agama kedua setelah al-Quran. Disamping itu hadits juga memiliki fungsi sebagai penjelas terhadap ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana dijelaskan dalam QS: an-Nahl ayat 44. Hadits tersebut merupakan teks kedua, sabda-sabda nabi dalam perannya sebagai pembimbing bagi masyarakat yang beriman. Akan tetapi, pengambilan hadits sebagai dasar bukanlah hal yang mudah. Mengingat banyaknya persoalan yang terdapat dalam hadits itu sendiri. Sehingga dalam berhujjah dengan hadits tidaklah serta merta asal mengambil suatu hadits sebagai sumber ajaran
            Adanya rentang waktu yang panjang antara Nabi dengan masa pembukuan hadits adalah salah satu problem. Perjalanan yang panjang dapat memberikan peluang adanya penambahan atau pengurangan terhadap materi hadits. Selain itu, rantai perawi yang banyak juga turut memberikan kontribusi permasalahan dalam meneliti hadits sebelum akhirnya digunakan sebagai sumber ajaran agama. Mengingat banyaknya permasalahan, maka kajian-kajian hadits semakin meningkat, sehingga upaya terhadap penjagaan hadits itu sendiri secara historis telah dimulai sejak masa sahabat yang dilakukan secara selektif.
         Para muhaddisin, dalam menentukan dapat diterimanya suatu hadits tidak mencukupkan diri hanya pada terpenuhinya syarat-syarat diterimanya rawi yang bersangkutan. Hal ini disebabkan karena mata rantai rawi yang teruntai dalam sanad-sanadnya sangatlah panjang. Oleh karena itu, haruslah terpenuhinya syarat-syarat lain yang memastikan kebenaran perpindahan hadits di sela-sela mata rantai sanad tersebut. Makalah ini mencoba mengelompokkan dan menguraikan secara ringkas pembagian-pembagian hadits ditinjau dari berbagai aspek.


1.2 Tujuan Penulisan
            Penulisan makalah ini bertujuan :
 Untuk mengetahui lebih rinci lagi tentang pembagian hadits.
 Untuk lebih memahami pengertian hadits dan macam-macamnya dan syarat-syaratnya.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Pengertian Hadits
a.Pengertian Hadits Secara Etimologis :
Hadis atau al- hadits menurut bahasa adalah al- jadid yang artinya (sesuatu yang baru) yang berarti menunjukkan kepada waktu yang dekat atau waktu yang singkat seperti (orang yang baru masuk/ memeluk islam). Hadis juga sering disebut dengan al- khabar, yang berarti berita, yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain, sama maknanya dengan hadis.
b.Pengertian Hadits Secara Terminologi
Sedangkan pengertian hadis menurut istilah (terminologi), Para Ahli memberikan definisi (ta’rif) yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang disiplin ilmunya.Pengertian hadis menurut Ahli Hadis, ialah:“Segala perkataan Nabi, perbuatan, dan hal ihwalnya.”
Yang dimaksud dengan hal ihwal ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW. Yang berkaitan dengan hikmah, karakteristik, sejarah kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaan.
Ada juga yang memberikan pengertian lain : “Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau”.
sementara para ulama ushul memberikan pengertian hadis adalah: “Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan taqrirnya yang berkaitan dengan hukum syara’ dan ketetapannya”.
    Berdasarkan pengertian hadis menurut ahli ushul ini jelas bahwa hadis adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Saw. Baik ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketentuan Allah yang disyari’atkan kepada manusia. Selain itu tidak bisa dikatakan hadis. Ini berarti bahwa ahli ushul membedakan diri Muhammad sebagai rasul dan sebagai manusia biasa. Yang dikatakan hadits adalah sesuatu yang berkaitan dengan misi dan ajaran Allah yang diemban oleh Nabi Muhammad SAW. Sebagai Rasulullah SAW. Inipun, menurut mereka harus berupa ucapan dan perbuatan beliau serta ketetapan-ketetapannya. Sedangkan kebiasaan-kebiasaannya, tata cara berpakaian, cara tidur dan sejenisnya merupakan kebiasaan manusia dan sifat kemanusiaan tidak dapat dikategorikan sebagai hadits.

2.2 klasifikasi hadits dari segi kualitas dan kuantitas

A.Pembagian hadits berdasarkan kuantitas
Hadits berdasarkan kuantitas (banyaknya jumlah perawi) atau orang yang meriwayatkan suatu hadits dapat dibagi menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad.
1. Hadits mutawatir
a.Ta’rif Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut      antara  satu            dengan  yang   lain.
Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan.”
Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.
Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadits itu langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut. Dalam sejarah para perawi diketahui bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan hadits. Ada yang melihat atau mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. Disamping itu, dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang periwayatkan hadits itu.
Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian ituadalah secara mutawatir.

b. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
   1. Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.
   2. Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.
a. Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
b. Ashabus Syafi’i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
c. Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).

d. Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:“Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu).” (QS. Al-Anfal: 64).
 3. Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit.
Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H).

c.Faedah Hadits Mutawatir
     Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath’i (pasti), dengan seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa penelitian terhadap rawi-rawi hadits mutawatir tentang keadilan dan kedlabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas/jumlah rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat dusta. Oleh karenanya wajiblah bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan semua hadits mutawatir. Umat Islam telah sepakat tentang faedah hadits mutawatir seperti tersebut di atas dan bahkan orang yang mengingkari hasil ilmu daruri dari hadits mutawatir sama halnya dengan mengingkari hasil ilmu daruri yang berdasarkan musyahailat (penglibatan pancaindera).


d. Macam–macam hadits mutawatir
Mutawatir lafzhi, yaitu yang sesuai lafal para perawinnya, baik dengan menggunakan satu lafal atau lafal lain yang satu makna dan menunjukkan kepada makna yang dimaksud secara tegas.
Mutawatir ma’nawi, yaitu sesuatu yang mutawatir maksud makna hadits secara konklusif, bukan makna dari lafalnya, makna lafal boleh berbeda antara beberapa periwaytaan perawi, tetapi maksud kesimpulannya sama.
Mutawatir ‘amali, yaitu perbuatan dan pengalaman syari’ah silamiyah yang dilakukan nabi secara praktis dan terbuka kemudian disaksikan dan diikuti oleh para sahabat.

2.      Hadits ahad
Menurut Istilah ahli hadits, tarif hadits ahad antara lain adalah :
“Suatu hadits (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadits mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadits tersebut masuk ke dalam hadits mutawatir.
       ’Ajjaj al-Khathib, yang membagi hadis berdasarkan jumlah perawinya kepada tiga, bahwa ia mengatakan defenisi Hadis Ahad sebagai berikut: 
“Hadis Ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang perawi, dua atau lebih, selama tidak memenuhi syarat-syarat Hadis Masyhur atau Hadis Mutawatir”.
Dari definisi ‘Ajjaj al-Khathib di atas dapat dipahami bahwa Hadis Ahad adalah hadis yang jumlah perawinya tidak mencapai jumlah yang terdapat pada Hadis Mutawatir . Di dalam pembahasan berikut, yang menjadi pedoman penulis adalah defenisi yang dikemukakan oleh Jumhur Ulama Hadis, yang mengelompokkan Hadis Masyhur ke dalam kelompok Hadis Ahad.

b.Macam–macam hadits ahad
1. Hadis Masyhur.
Secara bahasa, kata masyhur adalah isim maf’ul dari Syahara, yang berarti “al-zhuhur”, yaitu nyata. Sedangkan pengertian Hadis Masyhur menurur istilah Ilmu Hadis adalah:
“Hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih, pada setiap tingkatan sanad, selama tidak sampai kepada tingkat Mutawatir”. 
Dengan demikian, Hadis Masyhur dapat dibedakan menjadi enam macam, yaitu:
(1). Hadis Masyhur di kalangan ahli hadis, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih.
Contohnya hadis yang berasal dari Anas r.a., dia berkata:Bahwasanya Rasulullah SAW berkunut selama satu buan setelah ruku’ mendo’akan hukuman atas (tindakan kejahatan) penduduk Ri’lin dan Dzakwan. (HR Bukhari dan Muslim).
(2).Hadis Masyhur di kalangan Fugaha, seperti hadis:
“Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak. (HR Abu Daud dan Ibn Majjah”.
(3). Hadis Masyhur di kalangan Ulama Fiqih, contohnya:
“ Diangkatkan (dosa/hukuman) dari umatku karena tersalah(tidak disengaja), lupa, dan perbuatan yang dilakukan kerena terpaksa.(HR Ibn Majjah).
(4).Hadis Masyhur di kalangan Ulama Hadis, Fugaha, Ulama Ushul Figh dan kalangan awam, seperti:
“ Muslim yang sebenarnya itu adalah orang yang selamat menyelamatkan muslim-muslim lainnya dari akibat lidah dan tangannya, dan orang yang berjihad itu adalh orang yang pindah(meninggalkan segala perbuatan yang diharamkan Allah”. (HR Bukhari dan Muslim).
(5). Hadis Masyhur di kalangan ahli Nahwu, seperti:
“Sebaik-baik hamba adalah Shuhaib”
(6). Hadis Masyhur di kalangan awam, seperti:
“Tergesa-gesa itu adalah dari (perbuatan) setan. (HR Tirmidzi).

2. Hadis ‘Aziz
‘Aziz menurut bahasa adalah shifah musyabbahat dari kata ‘azza – ya ’izzu yang berarti qalla dan nadara, yaitu “sedikit” dan “jarang”; atau berasal dari kata ’azza – ya ’azzu yang berarti qawiya dan isytadda, yaitu “kuat” dan “sangat”.
Menurut istilah Ilmu Hadis, ’Aziz berarti:
“Bahwa tidak kurang perawinya dari dua orang pada seluruh tingkatan sanad”.
Definisi di atas menjelaskan bahwa Hadis ’Aziz adalah Hadis yang perawinya tidak boleh kurang dari dua orang pada setiap tingkatan sanad-nya, namun boleh lebih dari dua orang, seperti tiga, empat atau lebih, dengan syarat bahwa salah satu tingkatan sanad harus ada yang perawinya terdiri atas dua orang. Hal ini adalah untuk membedakan dari Hadis Msyhur.
3. Hadis Gharib
Menurut bahasa, kata gharib adalah shifah musyabbahat yang berarti al- munfarid atau al- ba’id ‘an aqaribihi,6 yaitu “yang menyendiri” atau jauh dari kerabatnya”.
Gharib menurut istilah Ilmu Hadis:
“Yaitu: Hadis yang menyendiri seorang perawi dalam periwayatannya”
Dari definisi di atas dapat disimpulkan, bahwa setiap hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi, baik pada setiap tingkatan sanad atau pada sebagian tingkatan sanad dan bahkan mungin hanya pada satu tingkatan sanad, maka hadis tersebut dinamakan Hadis Gharib.
       Menurut Ulama Hadis, Hadis Gharib terbagi dua, yaitu: Gharib Muthlaq dan Gharib Nisbi.
a. Gharib Muthlaq, yaitu:
 “Hadis yang menyendiri seorang perawi dalam periwayatannya pada ashal sanad.”
Contoh Hadis Gharib Muthlaq, mengenai niat:
“Sesungguhnya seluruh amal itu bergantung pada niat”.
Hadis niat tersebut hanya diriwayatkan oleh ’Umar ibn al- Khattab sendiri di tingkat sahabat.
b. Gharib Nisbi, adalah:
“Hadis yang terjadi Gharib di pertengahan sanad-nya”.
Hadis Gharib Nisbi ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh lebih dari seorang perawi pada asal sanad (perawi pada tingkat sahabat), namun dipertengahan sanadnya terdapat tingkat yang perawinya hanya sendiri (satu orang ).
Contoh Hadis Gharib Nisbi, yaitu:
 “Hadis yang diriwayatkan oleh Malik dar i al- Zuhri dari anas r.a., bahwasanya Nabi SAW memasuki kota Mekkah dan di atas kepalanya terdapat al-mighfar (alat penutup kepala). (HR Bukhari dan Muslim).
c. Faedah hadits ahad
     Para ulama sependapat bahwa hadits ahad tidak Qat’i, sebagaimana hadits mutawatir. Hadits ahad hanya memfaedahkan zan, oleh karena itu masih perlu
diadakan penyelidikan sehingga dapat diketahui maqbul dan mardudnya. Dan kalau temyata telah diketahui bahwa, hadits tersebut tidak tertolak, dalam arti maqbul, maka mereka sepakat bahwa hadits tersebut wajib untuk diamalkan sebagaimana hadits mutawatir. Bahwa neraca yang harus kita pergunakan dalam berhujjah dengan suatu hadits, ialah memeriksa “Apakah hadits tersebut maqbul atau mardud”. Kalau maqbul, boleh kita berhujjah dengannya. Kalau mardud, kita tidak dapat iktiqatkan dan tidak dapat pula kita mengamalkannya. Kemudian apabila telah nyata bahwa hadits itu (sahih, atau hasan), hendaklah kita periksa apakah ada muaridnya yang berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas dari perlawanan maka hadits itu kita sebut muhkam. Jika ada, kita kumpulkan antara keduanya, atau kita takwilkan salah satunya supaya tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tak mungkin dikumpulkan, tapi diketahui mana yang terkemudian, maka yang terdahulu kita tinggalkan, kita pandang mansukh, yang terkemudian kita ambil, kita pandang nasikh. Jika kita tidak mengetahui sejarahnya, kita usahakan menarjihkan salah satunya. Kita ambil yang rajih, kita tinggalkan yang marjuh. Jika tak dapat ditarjihkan salah satunya, bertawaqquflah kita dahulu.
Walhasil, barulah dapat kita dapat berhujjah dengan suatu hadits, sesudah nyata sahih atau hasannya, baik ia muhkam, atau mukhtakif adalah jika dia tidak marjuh dan tidak mansukh.

B. Pembagian Haditst Berdasakan Kualitas
 Berdasarkan kualitas hadits dibagi menjadi tiga yaitu:
1. Hadits Sahih
a. Syarat hadits Sahih adalah:
       a. Diriwayatkan oleh perawi yang adil Maksudnya adalah tiap-tiap perawi itu seorang Muslim, bersetatus Mukallaf (baligh), bukan fasiq dan tidak pula jelek prilakunya.
      b. Kedhabitan perawinya sempurna maksudnya Periwayat itu harus memahami dengan baik makna dan pengertian riwayat yang telah didengarnya (diterimanya),Periwayat itu memiliki hafalan dengan baik terhadap riwayat yang telah didengarnya itu dengan tanpa terdapat kesalahan atau kekeliruan pengutipan redaksi kata-katanya, Periwayat itu mampu menyampaikan riwayat yang telah didengarnya dan dihafalnya dengan baik kapan saja dia menghendakinya.
     c. Sanadnya bersambung Maksudnya adalah tiap-tiap perawi dari perawi lainnya benar-benar mengambil secara langsung dari orang yang ditanyanya, dari sejak awal hingga akhir sanadnya.
     d. Tidak ada cacat atau illat Maksudnya ialah hadis itu tidak ada cacatnya, dalam arti adanya sebab yang menutup tersembunyi yang dapat menciderai pada ke-shahih-an hadis, sementara dhahirnya selamat dari cacat.
‘Illat hadis dapat terjadi pada sanad mapun pada matan atau pada keduanya secara bersama-sama. Namun demikian, ‘illat yang paling banyak terjadi adalah pada sanad, seperti menyebutkan muttasil terhadap hadis yang munqati’ atau mursal.
   e. Matannya tidak syaz atau janggal Maksudnya ialah hadis itu benar-benar tidak syadz, dalam arti bertentangan atau menyalesihi orang yang terpercaya dan lainnya.

b. Pengertian hadits shahih
   Hadits sahih menurut bahasa berarti hadits yng bersih dari cacat, hadits yng benar berasal dari Rasulullah SAW. Batasan hadits sahih, yang diberikan oleh ulama, antara lain :“Hadits sahih adalah hadits yng susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-Quran), hadis mutawatir, atau ijimak serta para rawinya adil dan dabit.”
c. Pembagian hadits shahih
a.Hadis Shahih li dzati
Maksudnya ialah syarat-syarat lima tersebut benar-benar telah terbukti adanya,bukan dia itu terputus tetapi shahih dalam hakikat masalahnya, karena bolehnya salah dan khilaf bagi orang kepercayaan.
b. Hadis Shahih Li Ghoirihi
Maksudnya ialah hadis tersebut tidak terbukti adanya lima syarat hadis shahih tersebut baik keseluruhan atau sebagian. Bukan berarti sama sekali dusta, mengingat bolehnya berlaku bagi orang yang banyak salah.
Hadis shahih li-ghoirih, adalah hadis hasan li-dzatihi apabila diriwayatkan melamui jalan yang lain oleh perowi yang sama kualitasnya atau yang lebih kuat dari padanya.

2.Hadits Hasan
a. Syarat hadits hasan adalah:
a. Para perawinya adil.
b. Kedhabitan perawinya dibawah perawi hadits sahih.
c. Sanadnya bersambung.
d. Tidak mengandung kejanggalan pada matannya.
e. Tidak ada cacat atau illat.

b.Pengertian hadits hasan
         Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut Imam Turmuzi hadits hasan adalah : “yang kami sebut hadits hasan dalam kitab kami adalah hadits yng sannadnya baik menurut kami, yaitu setiap hadits yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan haditsnya, tidak janggal diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang sederajat. Hadits yang demikian kami sebut hadits hasan.”
c.Pembagian hadits hasan
a. Hasan Li-Dzatih
Hadis hasan li-dzatih adalah hadis yang telah memenuhi persyaratan hadis hasan yang telah ditentukan. pengertian hadis hasan li-dzatih sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.
b. Hasan Li-Ghairih
Hadis hasan yang tidak memenuhi persyaratan secara sempurna. dengan kata lain, hadis tersebut pada dasarnya adalah hadis dha’if, akan tetapi karena adanya sanad atau matan lain yang menguatkannya (syahid atau muttabi’), maka kedudukan hadis dha’if tersebut naik derajatnya menjadi hadis hasan li-ghairih.

3. Hadits Daif
   a. Pengertian hadits daif
     Hadits daif menurut bahasa berarti hadits yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan yang lemah (keci atau rendah) tentang benarnya hadits itu berasal dari Rasulullah SAW.
Para ulama memberi batasan bagi hadits daif :
Artinya :
“Hadits daif adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits sahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan.”
     Jadi hadits daif itu bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadits sahih, melainkan juga tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan. Pada hadits daif itu terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadits tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.
b. Pembagian hadits dhoif
 Hadist dhaif dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu : hadits dhaif karena gugurnya rawi dalam sanadnya, dan hadits dhaif karena adanya cacat pada rawi atau matan.
a. Hadits dhaif karena gugurnya rawi
Yang dimaksud dengan gugurnya rawi adalah tidak adanya satu atau beberapa rawi, yang seharusnya ada dalam suatu sanad, baik pada permulaan sanad, maupun pada pertengahan atau akhirnya. Ada beberapa nama bagi hadits dhaif yang disebabkan karena gugurnya rawi, antara lain yaitu :
1) Hadits Mursal
Hadits mursal menurut bahasa, berarti hadits yang terlepas. Para ulama memberikan batasan bahwa hadits mursal adalah hadits yang gugur rawinya di akhir sanad. Yang dimaksud dengan rawi di akhir sanad ialah rawi pada tingkatan sahabat yang merupakan orang pertama yang meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW. (penentuan awal dan akhir sanad adalah dengan melihat dari rawi yang terdekat dengan imam yang membukukan hadits, seperti Bukhari, sampai kepada rawi yang terdekat dengan Rasulullah). Jadi, hadits mursal adalah hadits yang dalam sanadnya tidak menyebutkan sahabat Nabi, sebagai rawi yang seharusnya menerima langsung dari Rasulullah.
Contoh hadits mursal : Rasulullah bersabda, “ Antara kita dan kaum munafik munafik (ada batas), yaitu menghadiri jama’ah isya dan subuh; mereka tidak sanggup menghadirinya”.

2) Hadits Munqathi’
Hadits munqathi’ menurut etimologi ialah hadits yang terputus. Para ulama memberi batasan bahwa hadits munqathi’ adalah hadits yang gugur satu atau dua orang rawi tanpa beriringan menjelang akhir sanadnya. Bila rawi di akhir sanad adalah sahabat Nabi, maka rawi menjelang akhir sanad adalah tabi’in. Jadi, pada hadits munqathi’ bukanlah rawi di tingkat sahabat yang gugur, tetapi minimal gugur seorang tabi’in. Bila dua rawi yang gugur, maka kedua rawi tersebut tidak beriringan, dan salah satu dari dua rawi yang gugur itu adalah tabi’in.
contoh hadits munqathi’ :
Artinya :Rasulullah SAW. bila masuk ke dalam mesjid, membaca “dengan nama Allah, dan sejahtera atas Rasulullah; Ya Allah, ampunilah dosaku dan bukakanlah bagiku segala pintu rahmatMu”.
3) Hadits Mu’dhal
Menurut bahasa, hadits mu’dhal adalah hadits yang sulit dipahami. Batasan yang diberikan para ulama bahwa hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang rawinya, atau lebih, secara beriringan dalam sanadnya.
Contohnya adalah hadits Imam Malik mengenai hak hamba, dalam kitabnya “Al-Muwatha” yang berbunyi : Imam Malik berkata : Telah sampai kepadaku, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
Artinya :Budak itu harus diberi makanan dan pakaian dengan baik.
4) Hadits mu’allaq
Menurut bahasa, hadits mu’allaq berarti hadits yang tergantung. Batasan para ulama tentang hadits ini ialah hadits yang gugur satu rawi atau lebih di awal sanad atau bisa juga bila semua rawinya digugurkan (tidakdisebutkan).
Contoh : Bukhari berkata :Kata Malik, dari Zuhri, dan Abu Salamah dari Abu Huraira, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
Artinya : Janganlah kamu melebihkan sebagian nabi dengan sebagian yang lain.
b. Hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi
Banyak macam cacat yang dapat menimpa rawi ataupun matan. Seperti pendusta, fasiq, tidak dikenal, dan berbuat bid’ah yang masing-masing dapat menghilangkan sifat adil pada rawi. Sering keliru, banyak waham, hafalan yang buruk, atau lalai dalam mengusahakan hafalannya, dan menyalahi rawi-rawi yang dipercaya. Ini dapat menghilangkan sifat dhabith pada perawi. Adapun cacat pada matan, misalkan terdapat sisipan di tengah-tengah lafadz hadits atau diputarbalikkan sehingga memberi pengertian yang berbeda dari maksud lafadz yang sebenarnya.
Contoh-contoh hadits dhaif karena cacat pada matan atau rawi :
1) Hadits Maudhu’
Menurut bahasa, hadits ini memiliki pengertian hadits palsu atau dibuat-buat. Para ulama memberikan batasan bahwa hadis maudhu’ ialah hadits yang bukan berasal dari Rasulullah SAW. Akan tetapi disandarkan kepada dirinya. Golongan-golongan pembuat hadits palsu yakni musuh-musuh Islam dan tersebar pada abad-abad permulaan sejarah umat Islam, yakni kaum yahudi dan nashrani, orang-orang munafik, zindiq, atau sangat fanatic terhadap golongan politiknya, mazhabnya, atau kebangsaannya .
Hadits maudhu’ merupakan seburuk-buruk hadits dhaif. Peringatan Rasulullah SAW terhadap orang yang berdusta dengan hadits dhaif serta menjadikan Rasul SAW sebagai sandarannya.
“Barangsiapa yang sengaja berdusta terhadap diriku, maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya dalam neraka”.
2) Hadits matruk atau hadits mathruh
Hadits ini, menurut bahasa berarti hadits yang ditinggalkan / dibuang. Para ulama memberikan batasan bahwa hadits matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang pernah dituduh berdusta ( baik berkenaan dengan hadits ataupun mengenai urusan lain ), atau pernah melakukan maksiat, lalai, atau banyak wahamnya.
Contoh hadits matruk : “Rasulullah Saw bersabda, sekiranya tidak ada wanita, tentu Allah dita’ati dengan sungguh-sungguh”.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ya’qub bin Sufyan bin ‘Ashim dengan sanad yang terdiri dari serentetan rawi-rawi, seperti : Muhammad bin ‘Imran, ‘Isa bin Ziyad, ‘Abdur Rahim bin Zaid dan ayahnya, Said bin mutstayyab, dan Umar bin Khaththab. Diantara nama-nama dalam sanad tersebut, ternyata Abdur Rahim dan ayahnya pernah tertuduh berdusta. Oleh karena itu, hadits tersebut ditinggalkan / dibuang.
3) Hadits Munkar
Hadist munkar, secara bahasa berarti hadits yang diingkari atau tidak dikenal. Batasan yang diberikan para ‘ulama bahwa hadits munkar ialah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah dan menyalahi perawi yang kuat, contoh :
Artinya: “Barangsiapa yang mendirikan shalat, membayarkan zakat, mengerjakan haji, dan menghormati tamu, niscaya masuk surga. ( H.R Riwayat Abu Hatim )”
Hadits di atas memiliki rawi-rawi yang lemah dan matannya pun berlainan dengan matan-matan hadits yang lebih kuat.
4.) Hadits Mu’allal
Menurut bahasa, hadits mu’allal berarti hadits yang terkena illat . Para ulama memberi batasan bahwa hadits ini adalah hadits yang mengandung sebab-sebab tersembunyi , dan illat yang menjatuhkan itu bisa terdapat pada sanad, matan, ataupun keduanya.
 Contoh : Rasulullah bersabda, “penjual dan pembeli boleh berkhiyar, selama mereka belum berpisah”.
5) Hadits mudraj
Hadist ini memiliki pengertian hadits yang dimasuki sisipan, yang sebenarnya bukan bagian dari hadits itu.
Contoh :
Rasulullah bersabda : “Saya adalah za’im ( dan za’im itu adah penanggung jawab ) bagi orang yang beriman kepadaku, dan berhijrah; dengan tempat tinggal di taman surga”.
Kalimat akhir dari hadits tersebut adalah sisipan ( dengan tempat tinggal di taman surga), karena tidak termasuk sabda Rasulullah SAW.
6) Hadits Maqlub
Menurut bahasa, berarti hadits yang diputarbalikkan. Para ulama menerangkan bahwa terjadi pemutarbalikkan pada matannya atau pada nama rawi dalam sanadnya atau penukaran suatu sanad untuk matan yang lain.
Contoh : Rasulullah SAW bersabda : Apabila aku menyuruh kamu mengerjakan sesuatu, maka kerjakanlah dia; apabila aku melarang kamu dari sesuatu, maka jauhilah ia sesuai kesanggupan kamu. (Riwayat Ath-Tabrani)
7) Hadits Syadz
Secara bahasa, hadits ini berarti hadits yang ganjil. Batasan yang diberikan para ulama, hadits syadz adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang dipercaya, tapi hadits itu berlainan dengan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang juga dipercaya. Haditsnya mengandung keganjilan dibandingkan dengan hadits-hadits lain yang kuat. Keganjilan itu bisa pada sanad, pada matan, ataupun keduanya.
Contoh : “Rasulullah bersabda : “Hari arafah dan hari-hari tasyriq adalah hari-hari makan dan minum.”
2.3 Pembagian Hadits Berdasarkan Bentuk dan Penisbahan Matan
  a. Dari segi bentuk atau wujud matannya, hadits dapat dibagi lima macam;
1. Qauli :Hadits yang matannya berupa perkataan yang pernah diucapkan
2. Fi’li :Hadits yang matannya berupa perbuatan sebagai penjelasan praktis terhadap peraturan syariat
3. Taqriri :Hadits yang matannya berupa tarir, sikap atau keadaan mendiamkan, tidak mengadakan tanggapan atau menyetujui apa yang telah dilakukan
4. Qawni :Hadits yang matannya berupa keadaan hal ihlwal dan sifat tertentu
5. Hammi :Hadits yang matannya berupa rencana atau cita-cita yang belum dikerjakan, sebetulnya berupa ucapan
    b. Dari penyandaran terhadap matan, hadits dapat dibagi pada;
1. Marfu’: Hadits yang matannya dinisbahkan pada Nabi Muhammad, baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir Nabi Muhammad
2. Mauquf : Hadits yang matannya dinisbahkan pada sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir
3. Maqtu’:Hadits yang matannya dinisbahkan kepada tabiin, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir
4. Qudsi: Hadits yang matannya dinisbahkan pada nabi Muhammad dalam lafad pada Allah dalam makna
5. Maudu’i:Hadits yang matannya dinisbahkan pada selain Allah, Nabi Muhammad, sahabat dan tabiin. Ini bisa disebut fatwa

2.4. Pembagian Hadits Berdasarkan Persambungan dan Keadaan Sanad
      Pembagian hadits berdasarkan sanad, yang ditinjau dari segi persambungan sanad, dan dari segi sifat-sifat yang ada pada sanad dan secara periwayatannya, dapat dikemukan di bawah ini. Hadits ditinjau dari segi persambungan sanad terbagi pada jenis-jenis.
a. Hadits Muttasil; Hadits yang sanadnya bersambung sampai kepada Nabi Muhammad SAW
b. Hadits Munfasil: Bila sanadnya tidak bersambung terdapat inqitaha’ (gugur rawi) dalam sanad, dan terbagi lagi kepada
1. Muallaq: Hadits yang gugur rawinya seorang atau lebih dari awal sanad (mudawin)
2. Mursal: Hadits yang gugur rawi pertama atau ahir sanadnya
3. Munqathi’:Hadits yang gugur rawi di satu tabaqat atau gugur dua orang pada dua ttabaqat dalam keadaan tidak berturut-turut
4. Mu’dhal: Hadits yang gugur rawi-rawinya dua orang atau lebih secara berturut-turut dalam tabaqat sanad, baik sahabat bersama tabiin, tabiin bersama tabin tabiin, namun dua orang sebelum sahabat dan tabiin
5. Mudallas: Hadits yang gugur guru seorang rawi karena untuk menutup noda.


BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sebagai akhir pembahasan tulisan ini, penulis sajikan kesimpulan umum sebagai berikut; 
hadits diyakini sebagai sumber ajaran agama kedua setelah al-Quran. Disamping itu hadits juga memiliki fungsi sebagai penjelas terhadap ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana dijelaskan dalam QS: an-Nahl ayat 44. Hadits tersebut merupakan teks kedua, sabda-sabda nabi dalam perannya sebagai pembimbing bagi masyarakat yang beriman.
berdasarkan kuantitas (banyaknya jumlah perawi) atau orang yang meriwayatkan suatu hadits dapat dibagi menjadi dua, yaitu
·         hadits mutawatir  : suatu hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang menurut kebiasaan  mustahil mereka berdusta dan tidak terdapat kejanggalan didalamnya.
·         dan hadits ahad : suatu hadist yang pemberitaannya tidak mencapai jumlah perawi hadist mutawatir
Berdasarkan kualitas hadits dibagi menjadi tiga yaitu:
·         Hadits sahih : hadist yang bersih dari cacat, hadist yang benar berasal dari nabi.
·         Hadits hasan : bagus atau baik, yaitu hadist yang sanadnya baik, tidak ada rawi yang dicurigai berdusta.
·         Hadits dhoif : hadist yang kebenarannya lemah, dan tidak memenuhi hadist2 hasan dan shahih.
Berdasarkan bentuk dan  penisbahan matan :
Dari segi bentuk atau wujud matannya :
ü  Qauli : hadist yang matannya berupa perkataan yang pernah diucapkan
ü  Fi”li : hadist yang matannya berupa perbuatan
ü  Taqriri : hadist yg berupa sikap
ü  Qawni
ü  Hammi
Dari segi penyandaran terhadap matan :
§  Marfu
§  Mauquf
§  Maqtu
§  Qudsi
§  Maudhu
  Berdasarkan persambungan sanad :
Ø  Muttasil
Ø  Munfasil
Ø  Muallaq
Ø  Mursal
Ø  Munqathi
Ø  Mu”dal
Ø  Mudallas




DAFTAR PUSTAKA
Endang Soetari AD, Ilmu Hadits, Bandung: Amal Bakti Press 1997
Mahmud Tohan dalam Taisir Mustalah Hadits
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, terj: Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Ushulul Hadits: Pokok-Pokok Ilmu Hadits, Jakarta: Gaya Media Pratama 1998
————-, Ushul al-Hadits: ‘Ulumuhu wa Musthalahuhu, Beirut: Dar al-‘Ilmu li al-Malayin 1977
————-, Al-Sunnah Qabl al-Tadwin, Beirut: Dar al-Fikr 1981
Nuruddin Itr ter: Mujiyo, Ulum Hadits, Bandung: Remaja Rosdakarya 1997 Hadits-Ilmu Hadits. Departemen Agama RI. Jakarta, Oktober 1992.
www. eramuslim.com
Min Muqawwimât an-Nafsiyyah al-Islâmiyyah : Syekh Taqiuddin An-Nabhani,HT I Press
http://ronyramadhanputra.blogspot.com/2009/04/hadits-dhaif.html
Diposkan oleh Mugni sulaeman di 21.53

Blog ini kini telah berpindah ke Az-paper.com!
Di Blog az-paper kamu bisa cari RPP, Referensi skripsi, Essay dan juga materi pembelajaran. seilahkan di cek. :)
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang telah memberikan karunianya yang tak terhingga kepada kami. Sehingga saat ini kami masih dapat menikmati semua yang anugerahnya di atas rasa syukur kami. Dan juga salawat dan salam kami semahkan kepada Nabi junjungan kami,yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah mengajarkan kepada kami ilmu yang sangat berharga. Sehingga sampai saat ini ilmu itu masih diterapkan oleh seluruh umatnya diseluruh dunia ini.

Disini kami membuat makalah yang membahas bagaimana “Etika Murid terhadap Guru”. Disini kami menjelaskan apa itu murid, apa itu guru, bagaiman murid bersikap terhadap dirinya, dan juga bagaimana sang murid bersikap dan beretika terhadap guru mereka. Diharapkan beberapa penjelasan kami ini dapat menambah pengetahuan pembaca tentang bagaimna seharusnya seorang murid beretika terhadap guru mereka.

Makalah ini merupakan tugas terstruktur dalam mata kuliah Hadist Tarbawi, makalah ini dibuat untuk melengkapi nilai kami dalam mata kuliah ini.

Kami sebagai penulis masih sangat menyadari bahwa makalah ini sangat jauh sekali dari kata sempurna, karena kami masih dalam proses belajar untuk membuatnya kearah yang lebih baik. Jadi kami sebagai mengharapkan kemakluman dari pembaca atas kekurangan makalah kami ini. Jika pembaca berkenan memberi kritik maupun saran, kami akan sangat berterima kasih. Sekian dari sang penulis, semoga bermanfat.

BAB I 

PENDAHULUAN 


1.1.Latar Belakang Masalah 
Dalam proses pembelajaran saat ini,nilai tidak hanya berdasarkan kemamouan siswa saja berdasarkan kemampuan akademiknya saja tetapi juga berdasarkan sikap dan tingkah laku siswa tersebut terhadap gurunya. Banyak dari siswa yang saat ini tidak tahu bagaimana ia seharusnya bersikap terhadap gurunya. Terkadang beberapa dari sikap dan perkataan mereka dianggap kurang sopan namun mereka tidak menyadari hal tersebut.Disini pendidikan hendaknya bagaimana merubah pengetahuan atau ilmu yang mereka dapat itu menjadi tingkah laku dan bagaimana mereka menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. 
Etika itu harus diajarkan sejak dari dini agar para murid tahu siapa dirinya dan kepada siapa saja mereka harus hormat. Sehingga nantinya akan tampak jelas peran orang tua dalam mendidik mereka dan juga akan tampak bagaimana mereka merealisasikan ilmu yang telah merek dapat dalam kehidupan sehari-hari. 

1.2.Rumusan Masalah 
Adapun rumusan masalah pada pembahasan kali ini adalah: 
a. Apa itu guru dan apa itu murid? 
b. Bagaimana karakteristik murid dalam perspektif hadist? 
c. Bagaimana etika murid terhadap dirinya dan juga tehadap guru? 

1.3.Tujuan Pembahasan 
Tujuan dari pembahasan ini adalah: 
a) untuk mengetahui bagaimana seharusnya murid bersikap terhadap dirinya, disini maksudnya bagaimana supaya mereka bisa menghargai diri mereka sendiri. 
b) untuk mengetahui bagaimana sebaiknya murid berstika terhadap guru mereka. 

1.4.Metode Pengumpulan Data 
Dalam pengumpulan data kali ini, metode yang digunakan adalah studi keperpustakaan. Dan juga penulis mengambil beberapa data dari buku online yang berhubungan dengan topic yang akan dijelaskan. 



BAB II 
PEMBAHASAN 
ETIKA MURID TERHADAP GURU 


A.Pengertian Guru 
Dalam literature kependidikan islam, kata guru juga sering dikatakan dengan Ustadz,mu’alim, murrabiy, muddaris dan muaddib. Sedangkan menurut Muhammad Ali al-Khuli dalam kamusnya “Dictionary of Education; English-Erobic”, kata “guru” disebut juga dengan mu’allim dan muddaris. 
Kata ustadz biasa digunakan untuk memanggil seorang professor.Ini mengandung makna bahwa seorang guru dituntut prosionalisme dalam mengemban tugasnya. Seorang dikatakan professional bilamana pada dirinya melihat sikap dedikatif yang tinggi terhadap tugasnya, sikap komitmen terhadap mutuproses dan hasil kerja, serta sikap continuous improvement, yaitu selalu berusaha memperbaiki dan memperbaharui model-model atau cara kerjanya sesuai dengan tuntutan zamannya. Yang dilandasi oleh kesadaran yang tinggi bahwa tugas mendidik adalah tugas menyiapakam generasi penerus yang akan hidup pada zamannya dimasa depan.
Kata “mu’allim” berasal dari kata dasar ilm yang menangkap hakekat sesuatu.Dalam setiap ilmu terkandung dimensi teoritis dan dimensi amaliyah.Ini mengandung makna seorang guru dituntut untuk mampu menjelaskan hakekat ilmu pengetahuan yang diajarkannya, sertamenjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya, dan berusaha membangkitkan siswa untuk mengamalkannya. 
Dalam hal ini, sesuai dengan firman Allah dalam Surat Al-Alaq: 5 sebagai berikut: 

“ Dia mengajarkan manusia apa yang mereka tidak ketahui” 

Ayat ini berindikasi bahwa Allah mengajarkan baca tulis dengan perantara pena. Dan pengajaran itu berupa hal-hal yang tidak diketahui. Jadi pendidikan dalam arti ta’lim menunjukkan proses pemberian informasi kepada obyek didik sebagai makhluk yang berakal, di samping itu pula ta’lim juga menjadi indikator kelebihan manusia sebagai peserta didik karena kepemilikan akal pada dirinya. 

Jadi, tugas guru adalah mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi, sekaligus mengatur dan memelihara hasil karyanya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya.

Dengan demikian, seorang guru dituntut untuk sekaligus melakukan transfer of knowledge, internalisasi dan amaliyah (implementasi).Boleh dikatakan bahwa guru tidak hanya mengenalkan sebuah konsep dari suatu ilmu, tapi lebih dari itu, seorang guru mampu menerapkan adanya konsep itu.Melihat dari usaha-usaha guru di atas, maka kedudukan guru dalam Islam merupakan realita dari ajaran itu sendiri.Tidak boleh tidak, Islam pasti memuliakan guru.Tak terbayangkan terjadinya perkembangan pengetahuan tanpa adanya orang belajar dan mengajar; tak terbayangkan adanya belajar mengajar tanpa adanya guru, karena Islam adalah agama.Maka pandangan tentang guru, kedudukan guru tidak terlepas dari nilai-nilai kelangitan.

B.Pengertian Murid
Kata “murid” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai pengertian orang yang sedang berguru.Menurut Ahmad Warson Al-Munawwir dalam kamusnya “Al-Munawwir” bahwa “murid” adalah orang yang masa-masa belajar.Sedangkan kata “murid” menurut John M. Echold dan Hassan Shadily adalah orang yang belajar (pelajar).Istilah lain yang berkenaan dengan murid (pelajar) adalah al-thalib.Kata ini berasal dari bahasa Arab, thalaba, yathlubu, thalaban, thalibun yang berarti “orang yang mencari sesuatu”.Pengertian ini dapat dipahami karena seorang pelajar adalah orang yang tengah mencari ilmu pengetahuan,pengalaman, dan keterampilan dan pembentukan kepribadiannya untuk bekal kehidupannya di masa depan agar berbahagia dunia dan akhirat.

Kata al-thalib ini selanjutnya lebih digunakan untuk pelajar pada perguruan tinggi yang selanjutnya disebut mahasiswa. Penggunaan kata althalibuntuk mahasiswa dapat dimengerti karena seorang mahasiswa sudah memiliki bekal pengetahuan dasar yang iaperoleh dari tingkat pendidikan dasar dan lanjutan, terutama pengetahuan tentang membaca, menulis dan berhitung. Dengan bekal pengetahuan dasar ini, ia diharapkan memiliki bekal untuk mencari, menggali dan mendalami bidang keilmuan yang diminatinya dengan cara membaca, mengamati, memilih bahan-bahan bacaan, seperti buku-buku, surat kabar, majalah, fenomena sosial melalui berbagai peralatan dan sarana pendidikan lainnya, terutama bahan bacaan. Bahan bacaan tersebut setelah dibaca, ditelaah dan dianalisa selanjutnyadituangkan dalam berbagai karya ilmiah seperti artikel, makalah, skripsi, tesis, desertasi, laporan penelitian dan lain sebagainya.Dengan demikian, dalam arti al-thalib, seorang murid lebih bersifat aktif, mandiri, kreatif dan tidak bergantung kepada guru. Bahkan dalam beberapa hal ia dapat meringkas, mengkritik dan menambahkan informasi yang disampaikan oleh guru atau yang lebih dikenal sebagai dosen atau supervisor. Dalam kontek ini seorang dosen harus bersikap demokratis, memberi kesempatan dan menciptakan suasana kelas yang bebas, untuk mendorong mahasiswa untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi. Kesempatan belajar yang diciptakan dosen adalah agar merangsang para mahasiswa belajar, berfikir, melakukan penalaran yang memungkinkan para mahasiswa dan dosen tercipta hubungan sebagai mitra. Minat dan pemahaman, timbal balik antara dosen dan mahasiswa ini akan memperkaya kurikulum dan kegiatan belajar mengajar pada bersangkutan.


C.Karakteristik Murid dalam Perspektif Hadist 
Secara fitrah, anak memerlukan bimbingan dari orang yang lebih dewasa. Hal ini dapat dipahami dari kabutuhan-kebutuhan dasar yang dimiliki oleh setiap orang yang baru lahir, Allah SWT berfirman: 

بٔطٔونِ أٔمَّهَا تِكُمْ لاَ تَعْلَمَُوْنَ شَيئًا وَ جَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأَ بْصَارَوَالأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ ْمِّنْأَخْرَجَكُموَالله 

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur.” 

Dalam perspektif hadits, peserta didik mempunyai karakteristik sebagai berikut: 
  • Peserta didik menjadikan Allah sebagai motimator utama dalam menuntut ilmu. 
  • Senantiasa mendalami pelajaran secara maksimal, yang ditunjang dengan persiapan dan kekuatan mental, ekonomi, fisik, dan psikis. 

عن أبي هريرة قا ل رسول الله صلى الله عليه وسلم ألمٶمن القوي خيروأحب الى الله من المٶمن الضيف 

“ Dari Abu Hurairah r,a, ia berkata: Rasulullah saw, telah bersabda: Orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada orang mukmin yang lemah.” 

  • Senantiasa mengadakan perjalanan (rihlah, comparative study) dan melakukan riset dalam rangka menuntut ilmu karena ilmu itu tidak hanya pada satu majlis al-‘ilm, tetapi dapat dilakukan di tempat dan majelis-majelis lain. 
  • Memiliki tanggung jawab. 
“Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah saw, telah bersabda: Barang siapa yang ditanyai suatu imu pengetahuan, tetapi ia menyembunyikannya, maka Allah akan menyedikan baginya kekangan dari api neraka di hari kiamat”. 

  • Ilmu yang dimilikinya dapat dimanfaatkan. 

D.Etika Murid 
a. Etika Murid terhadap dirinya 
  •  Berniat ikhlas karena Allah semata. 
Sebelum memulai pelajaran, siswa harus lebih dahulu membersihkan dirinya dari segala sifat buruk karena belajar itu termasuk ibadah, dan ibadah yang diterima Allah adalah ibadah yang dilakukan dengan tulus ikhlas. Oleh karena itu, belajar yang diniatkan bukan karena Allah akan sia-sia. Nabi SAW bersabda: artinya: “ Sesungguhnya amal perbuatan itu dilandasi atas niat…” 
Hendaknya tujuan pendidikan itu karena takut kepada Allah SWT dan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda: 

“ Pelajarilah ilmu karena sesungguhnya mempelajarinya karena Allah adalah sebentuk takut kepada-Nya.” 

  • Jangan meninggalkan suatu mata pelajaran sebelum benar-benar menguasainya. 
  • Bersungguh-sungguh dan tekun belajar, siang dan malam, dengan terlebih dahulu mencari ilmu yang lebih penting. 
  • Tawaddu’, iffah, sabar, dan tabah, wara’, dan tawakal. 
  • Disiplin dan selektif memilih lingkungan (pendidikan).
Islam sangat mengutamakan kedisiplinan, terutama penggunaan waktu, bahkan Allah SWT bersumpah demi masa (waktu). Rasulullah SAW sendiri mewaspadai betul waktu, sehingga beliau bersabda:

“ Pergunakanlah lima kesempatan sebelum datang lima kesempitan: sehatmu sebelum sakitmu, waktu lapangmu sebelum waktu sempitmu, masa mudamu sebelum masa tuamu, masa kayamu sebelum masa miskinmu, dan waktu hidupmu sebelum matimu”. (H.R. Baihaqi) 

Kemudian murid juga selektif dalam membentuk lingkungan pergaulan, karena lingkungan turut membentuk corak pendidikan, perilaku, dan pola pikir seseorang. Seperti sabda Nabi SAW: 

” Perumpamaan sahabat yang baik dan sahabat yang buruk itu bagaikan pembawa misik (kasturi) dan penyulut api. Pembawa kasturi terkadang memberi kepadamu atau kau membeli dirinya, atau (paling tidak) kamu mencium bau harumnya. Adapun penyulut api, kalau tidak membakar pakaianmu, maka kamu mendapat bau baranya”.

b. Etika Murid Terhadap Guru 

Etika berasal dari bahasa Yunani, ethos(tunggal) atau ta etha(jamak) yang berarti watak, kebiasaan dan adat istiadat. Pengertian ini berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun suatu masyarakat yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lain. 

Dari pengertian diatas, kita hendaknya mencoba mengaitkan dengan kemajuan pendidikan yang tidak hanya terpatri pada pengetahuan namun juga etika yang berdampak positif untuk anak didik.Kemajuan sebuah bangsa sangat berbanding lurus dengan kemajuan pendidikannya, rumusan ini sangat signifikan mengingat pendidikan adalah pondasi terhadap perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, dari lemah menjadi semangat, dari takut menjadi berani, semua ini merupakan implikasi dari perkembangan pendidikan. 

Pendidikan merupakan ikhtiar yang strategis untuk kemajuan bangsa, dan kemajuan bangsa harus ditopang dengan sumber daya manusia yang stabil akan nuansa akhlak, bukan hanya tertera pada catatan yang terangkum di kurikulum dan materi ajar, melainkan nilai-nilai mulia yang aplikatif terinternalisasi dalam diri manuisa. 

Keberhasilan pendidikan dapat dilihat dari perbaikan sikap dan perilaku peserta didik dalam hal ini murid, karena tujuan utama dari pendidikan ialah memperbaiki kualitas manusia, maka pendidikan yang berhasil ialah pendidikan yang menghasilkan manusia yang berpengetahuan dan berakhlak mulia. Sebuah ungkapan Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh, penanaman moralitas yang terintegrasi dalam proses pendidikan dan pengajaran sedemikian penting, karena kecerdasan Intelektual tanpa dikawal kecerdasan moral dan kecerdasan spiritual akan mengalami keterpurukan didalam diri. 

Pada zaman Rasulullah dan para Sahabat murid itu mendapatkan kedudukan yang sangat tinggi dalam proses pendidikan, karena murid itu adalah sosok yang sedang tumbuh dan berkembang yang harus diperhatikan oleh pendidik. Dalam hal ini, para guru membuat aturan bagaimana muridmampu merealisasikan aturan, sehingga dapat menciptakan proses pembelajaran yang baik. 

Adapun mengenai etika murid terhadap guru, menurut Sa’id bin Muhammad Da’ib Hawwa itu ada sepuluh: 

1. Mendahulukan kesucian jiwa dari pada kejelekan akhlak dan keburukan sifat, karena ilmu adalah ibadahnya hati, shalatnya jiwa, dan peribadatannya batin kepada Allah. 

2. Mengurangi keterikatannya dengan kesibukan dunia, karena iktan-iktan itu menyibukkan dan memalingkan kepada Allah. Jika pikiran terpecah maka tidak bisa mengetahui berbagai hakekat. Oleh karena itu, ilmu tidak akan diberikan kepada seseorang sebelum seseorang tersebut menyerahkan seluruh jiwanya. 

3. Tidak bersikap sombong kepada orang yang berilmu dan tidan tidak bertindak sewenang-wenang terhadap guru, bahkan ia harus menyerahkan seluruh urusannya dan mematuhi nasehatnya. Oleh karena itu, penuntut ilmu tidak boleh bersikap sombong terhadap guru. Di antara bentuk kesombongannya terhadap guru adalah sikap tidak mau mengambil manfaat (ilmu) kecuali dari orang-orang besar yang terkenal. 

4. Hendaknya seorang murid menjaga diri dari mendengarkan perselisihan di antara mereka, baik yang ditekuni itu termasuk ilmu dunia ataupun akhirat. Karena itu akan membingungkan akal dan pikirannya, dan membuatnya putus asa dari melakukan pengkajian dan telaah mendalam. 

5. Seorang penuntut ilmu tidak boleh meninggalkan suatu cabang ilmu yang terpuji, atau salah satu jenis ilmu, kecuali ia harus mempertimbangkan matang-matang dan memperhatikan tujuan dan maksudnya. 

6. Hendaknya seorang tidak menekuni semua bidang ilmu secara sekaligus melainkan memulai dengan yang lebih mudah. 

7. Hendaklah seorang murid tidak memasuki suatu cabang ilmu sebelum menguasai cabang ilmu yang sebelumnya. 

8. Hendaklah mengetahui faktor penyebab adanya ilmu yang mulia. Yang dimaksud adalah kemulian hasil, kekokohan dan kekuatan dalil. 

9. Hendaklah tujuan murid di dunia adalah semata-mata untuk menghias dan mempercantik hatinya dengan keutamaan, dan akhirat adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan meningkatkan diri untuk bisa berdekatan dengan makhluk tertinggi dari kalangan malaikat dan orangorang yang didekatkan (muqorrobin). 

10. Hendaklah mengetahui kaitan dengan tujuan agar supaya mengutamakan yang tinggi. 



Sedangkan menurut Hasyim Asy’ari bahwa etika murid terhadap ada sepuluh macam yang harus diketahui oleh murid:


1. Murid hendaknya membersihkan hati dari segala kotoran, agar ilmu mudah masuk pada dirinya. 

2. Memfokuskan niat hanya semata-mata karena Allah dan beramal dengan ilmunya, menjaga syariat, menerangi hati dan taqorrub Kepada Allah. 

3. Berusaha semaksimal mungkin untuk segera memperoleh ilmu, tidak tertipu oleh lamunan-lamunan kosong atau kemalasan. 

4. Qona’ah dan sabar terhadap makanan dan pakaian yang sederhana agar segera memperoleh kedalam ilmu dan sumber hikmah. 

5. Pandai mengatur waktu, sehingga semua potensi bisa dimanfaatkan secara maksimal. 

6. Makan sekedarnya, tidak terlalu kenyang, agar tidak menghambat ibadah dan memberatkan badan.
 
7. Berusaha bersikap waro’ (hati-hati terhadap masalah haram, subhat dan sia-sia); memilih yang halal bagi kebutuhan hidupnya agar hati senantiasa bersinar dan siap menerima cahaya ilmu dan keberkahanya. 

8. Menghindari makanan yang menyebabkan kemalasan dan melemahkan keberanian, termasuk juga menghindari hal-hal yang banyak menyebabkan lemahnya daya ingat. 

9. Menyedikitkan tidur selama tidak mengganggu kesehatan diri. 

10. Meninggalkan hal yang bisa menarik pada kesia-sian dan kelalaian dari belajar dan ibadah. 

Sangat jelas sekali, keharusan adanya niat dan kebersihan hati dalam belajar.Karena belajar dianggap sebagai ibadah dan tujuannya adalah ridha dan taqorrub kepada Allah.Untuk itu, murid harus menyesuaikan diri dengan sifat-sifat bersih dan suci dari Allah.Penekanan pentingnya kebersihan hati dalam belajar itu berdasarkan atas kepercayaan bahwa ilmu merupakan anugerah dari Allah yang maha Agung. Semakin suci dan bersih hati manusia akan semakin baik dan kuat menerima ilmu dan nur Allah. 

Dan juga perlu disadari, bahwa hormat dan patuh kepada gurunya bukanlah manifestasi penyerahan total kepada guru yang dianggap memiliki otoritas, melainkan karena keyakinan murid bahwa guru adalah penyalur kemurahan Tuhan kepada para murid di dunia maupun di akhirat. Selain itu juga didasarkan atas kepercayaan bahwa guru tersebut memiliki kesucian karena memegang kunci penyalur ilmu pengetahuan dari Allah.Dengan demikian, dalam kontek kepatuhan santri pada guru hanyalah karena hubungannya dengan kesalehan guru kepada Allah, ketulusannya, dan kecintaanya mengajar murid-murid. 

Adapun etika murid terhadap guru dalam kesehariannya adalah sebagai berikut: 
Ø Hendaklah murid menghormati guru, memuliakan serta mengagungkannya karena Allah, dan berdaya upaya pula menyenangkan hati guru dengan cara yang baik. 
Ø Bersikap sopan di hadapan guru, serta mencintai guru karena Allah. 
Ø Selektif dalam bertanya dan tidak berbicara kecuali setelah mendapat izin dari guru 
Ø Mengikuti anjuran dan nasehat guru. 
Ø Bila berbeda pendapat dengan guru, berdiskusi atau berdebat lakukanlah dengan cara yang baik. 
Ø Jika melakukan kesalahan, segera mengakuinya dan meminta maaf kepada guru. 
Ø Hendaknya murid memilih guru yang tidak hanya betul-betul menguasai bidangnya, tetapi juga mengamalkan ilmunya dan berpegang teguh kepada agamanya. 
Sabda Nabi SAW: 
لا يٶخذ العلم من ٳلا من أمين ثقة لأن قوام الدين با لعلم 
Artinya: 
”Tidak boleh menuntut ilmu kecuali dari guru yang amin dan tsiqah (mempunyai kecerdasan kalbu dan akal) karena kuatnya agam adalah dengan ilmu”. 
Selain itu, Dalam kitab Ilmu wa Adab al-‘Alim wa al- Muta’allim dikatakan bahwa sikap murid sama dengan sikap guru, yaitu sikap murid sebagi pribadi dan sikap murid sebagai penuntut ilmu. Sebagai pribadi seorang murid harus bersih hatinya dari kotoran dan dosa agar dapat dengan mudah dan benar dalam menangkap pelajaran, menghafal dan mengamalkanny.Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw: 
الا ان في الجسد مضفة ٳذا صلحت صلح سا ئر عمله وٳذا فسدت فسد سائر عمله الا وهي القلب
“Ingatlah bahwa dalam jasad terdapat segumpal daging, jika segumpal daging tersebut sehat, maka sehatlah seluruh perbuatannya, dan jika segumpal daging itu rusak, maka rusaklah seluruh awalnya.Ingatlah bahwa segumpal daging itu adalah hati.” 
Selanjutnya menurut Imam Ghazali, ada sepuluh kriteria yang harus diupayakan oleh anak didik, diantaranya yaitu: 
1. Sebelum memulai proses belajar, anak didik harus terlebih dahulu menyucikan jiwa dari perangai buruk dan sifat tercela. 
2. Semampu mungkin anak didik harus menjauhkan diri dari ketergantungan terhadap dunia. 
3. Anak didik harus selalu bersikap rendah hati, memperhatikan instruksi dan arahan pendidik, dan mampu mengontrol emosinya. 
4. Anak didik harus menghindarkan diri dari suasana perdebatan yang membingungkan. 
5. Seorang anak didik harus mmpunyai semangat mempelajari semua ilmu pengetahuan yang layak dipelajari sebagai konsekuensi adanya keterkaitan antardisiplin ilmu pengetahuan. 
6. Anak didik harus belajar secara gradual. Ia perlu menentukan skala prioritas ilmu pengetahuan dengan mengacu kepada manfaatnya, dalam hal ini adalah ilmu agama. 
7. Anak didik harus memahami hirarki ilmu pengetahuan. 
8. Anak didik harus memahami nilai ilmu pengetahuan yang dipelajari dan menentukan mana yang lebih utama dari yang lain. 
9. Anak didik mempunyai orientasi atas pendidikannya; tujuan jangka pendek, yaitu memperbaiki dan membersihkan jiwanya; sedangkan orientasi jangka panjang adalah mendekatkan diri pada Allah swt dan berusaha menaikkan derajatnya setara dengan malaikat. 
10. Anak didik harus hati-hati dalam memilih sosok pendidik demi kelangsungan proses belajar yang positif. 
kita sebagai pelajar/santri pasti menghormati guru dengan keilmuannya. 
Tersebut pula pada permulaan kitab Ta’limul Muta’allim, Assyaikh Burhanul Islam Azzarnuji telah menulis: 
“Maka apabila aku melihat para penuntut ilmu pada zaman sekarang ini (zaman Assyaikh Azzarnuji) bersungguh-sungguh kepada ilmu, dan mereka tidak sampai pula pada ilmu yang dipelajari (tidak mendapat manfaat dan hasilnya yaitu beramal dan menyebarkan), terhalang karena mereka telah salah jalan dan meninggalkan syarat-syaratnya. Dan setiap yang tersalah jalan akan sesat, dan tidak mendapati tujuan, sedikit maupun banyak. Maka aku ingin dan hendak menerangkan kepada mereka jalan menuntut ilmu….” 
Seterusnya Assyaikh Azzarnuji, menyebutkan adab atau etika perjalanan, etika menuntut ilmu dari mulai niat pertama menuntut ilmu itu sendiri hingga kepada memilih guru dan teman seperjuangan. Pentingnya mengagungkan ilmu dan ulama, wara dan berbagai lagi jalan yang harus dilakukan dalam menuntut ilmu.
Antara lain sebabnya adalah “tersalah jalan” itu sendiri, etika sopan santun dan beradab dalam menuntut ilmu sudah jarang diamalkan. Ingatlah wahai pelajar! Menuntut ilmu agama ini bukanlah sekedar hanya dengan mengumpulkan dan mengoleksi pengetahuan di otak saja.Karena jika demikian, maka harddisk PC jauh lebih alim dari kita semua. Sedangkan di dalam otak mengandung lebih dari 100 Gigabyte fail dari jutaan helaian kitab. Sudahkah kita menyimpannya dan berapa helai sudah didapati hafalan itu.Bila kita ingin tahu kesalahan jalan menuntut ilmu, maka ketahuilah bahwa salah jalan ini ada pada perkara-perkara yang telah disebutkan oleh Syaikh Azzarnuji. Tersebutkan dalam kitab Ta’limul Muta’allim, ada tiga perkara: 
1. Niat 
2. Memilih Guru 
3. Mengagungkan ilmu dan ulama. 
Jadi, sebagai penuntut ilmu kita harus mempunyai niat yang ikhlas agar ilmu yang kita cari dan kita amalkan itu menjadi berkah bagi kita dan kita juga mendapatkan Ridho Allah dari apa yang telah kita usahakan selama ini. 

BAB III 
PENUTUP 
A.Kesimpulan
 
a. Keseluruhan istilah anak didik dalam perspektif hadits mengacu pada satu pengertian, yaitu orang yang sedang menuntut ilmu, tanpa membedakan ilmu agama atau ilmu umum. 

b. Karakteristik peserta didik dalam perspektif hadits adalah: peserta didik menjadikan Allah sebagai motivator utama dalam menuntut ilmu, mendalami pelajaran secara maksimal, mengadakan perjalanan (rihlah, comparative study) dan melakukan riset, bertanggung jawab mengajarkan ilmunya kepada orang lain, dan ilmu itu harus dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat dan agama. 

c. Tugas dan tanggung jawab murid adalah: mengutamakan ilmu yang mempunyai kemaslahatan paling besar untuk agama umat dan kehidupan akhirat, mengulangi pelajaran, ikut bertanggung jawab pada pendanaan pendidikan jika ia mampu, mematuhi peraturan yang berlaku, mengutamakan menuntut ilmu dari pada amalan sunat lainnya, dan lain-lain.
 
B.Saran 
Diharapkan dengan adanya makalah ini dapat membantu para peserta didik untuk semakin tahu bagaimna seharusnya mereka bersikap.Dan para peserta didik hendaknya tahu bagaiman etika mereka jika mereka berhadapan dengan guru mereka.